www.biblelight.net – 6 Lembaga di Setiap Agama di Indonesia. Setiap negara memiliki agama majemuk, Indonesia contohnya. Oleh karena itu, lembaga agama berbagai agama telah didirikan. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat penjabaran nya di bawah ini.
Definisi para ahli tentang lembaga keagamaan
- Lembaga keagamaan adalah sistem keyakinan dan praktik keagamaan (Emile Durkheim) dalam masyarakat yang telah dikembangkan dan dibakukan. Lembaga keagamaan mengatur kehidupan dan perilaku manusia dalam lingkungan sosial.
- William Kornblum percaya bahwa agama adalah jawaban yang masuk akal atas pertanyaan kelangsungan hidup manusia yang membuat dunia bermakna.
- Menurut Horton dan Hunter, agama adalah sistem kepercayaan, sarana bagi sekelompok orang untuk menjelaskan dan menanggapi perasaan supremasi dan kesucian mereka.
- Definisi lain dari lembaga keagamaan adalah organisasi yang bertujuan untuk mengedepankan kepentingan kehidupan beragama dalam masyarakat, negara, dan kehidupan bernegara melalui kelompok agama.
- Padahal, menurut Bruce J, konsep lembaga keagamaan adalah lembaga yang dirancang untuk mengatur kehidupan manusia dan agama.
Jenis dan contoh lembaga keagamaan
- Islam: Majelis Ulama Indonesia (MUI)
- Agama Kristen: Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
- Katolik: Konferensi Pembina Gereja Indonesia (KWI)
- Hindu: Hindu Dharma (PHDI) di Paris, Indonesia
- Buddha: Wakil Umat Buddha Indonesia (Walubi)
- Konfusianisme: Majelis Tinggi Konfusianisme di Indonesia (Matakin)
- Institut Perempuan Katolik (WK)
- Pertemuan Doa Rosario (Legio Maria)
Unsur lembaga keagamaan:
Beberapa ilmuwan, seperti Light, Killer, dan Calhoun (1989), memfokuskan pada elemen dasar agama, yaitu sebagai berikut.
- Percaya
Setiap agama pasti memiliki kepercayaan seperti kepercayaan kepada Tuhan, nabi dan kitab.
- simbol
Setiap agama mengenal berbagai simbol baik berupa pakaian, perkataan, perkataan maupun tingkah laku.
- Kebiasaan agama
Setiap doktrin agama yang ada memiliki adat istiadat keagamaan seperti doa, ibadah, puasa, dan meditasi.
- Penganut / orang
Agama memiliki banyak pemeluk / pemeluknya.
- Pengalaman religius
Setiap pemeluk agama memiliki beberapa bentuk pengalaman religius.
Fungsi lembaga keagamaan
- Sebagai cara hidup
- Sebagai sumber kebenaran
- Sebagai moderator hubungan antara manusia dan Tuhan
- Sebagai pedoman untuk prinsip benar dan salah
- Sebagai kriteria untuk mengekspresikan persaudaraan kepada agama yang bermanfaat bagi umat manusia.
- Sebagai kriteria keyakinan, orang baik harus selalu diiringi dengan keyakinan bahwa perilakunya adalah kewajiban Tuhan dan bahwa perilaku sekecil apa pun akan dihargai atas perilakunya.
- Sebagai pedoman untuk bertahan hidup, pada hakikatnya hidup diciptakan oleh Tuhan.
- Sebagai ungkapan rasa nilai estetika manusia cenderung menyukai keindahan, karena kecantikan merupakan bagian dari jiwa manusia.
- Sebagai panduan untuk rekreasi dan hiburan. Cari kepuasan batin melalui hiburan dan hiburan tanpa melanggar prinsip agama.
Dalam hidup, Anda harus memiliki prinsip dan keyakinan yang membimbing agar hidup lebih fokus dan bertujuan.
Baca Juga: Sejarah Singkat Asal Mula Walisongo
Berikut penjabaran dari 3 lembaga agama di atas:
- Islam: Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Orde baru Soeharto sangat bertumpu pada Tentara Nasional Indonesia (ABRI) yang menyadari bahwa Islam adalah kekuatan politik yang sangat besar dan tidak bisa disingkirkan dari percaturan politik Indonesia. Faktanya sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Sebagian besar anggota ABRI juga beragama Islam. Pesanan baru hanya perlu melanjutkan dengan hati-hati.
Peringatan orde baru mirip dengan peringatan pemerintah militer Jepang terhadap Islam di Indonesia pada masa pendudukan 1942-1945. Jepang menyetujui organisasi pemuka agama bernama Madjlisul Islamil A’laa Indonesia (MIAI), yang kemudian menjadi Majelis Muslim Indonesia (Masyumi). Induk organisasi Masyumi adalah ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan parpol Islam yang sudah ada sebelum zaman penjajahan. Pada awal 1970-an, Orde Baru menoleransi partai-partai Islam sebelum akhirnya melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, permintaan pesanan baru jauh melampaui itu.
Seperti yang dikemukakan James Rush dalam “Adicerita Hamka (210)”, Soeharto dan para pembantunya akhirnya mencari “Sahabat Muslim (Muslim) Uma dan instruksikan para pemimpin mereka untuk kepentingan orde baru.” Kemudian muncul ide untuk mempersatukan ulama dalam sebuah wadah. Ide ini sudah ada sejak 1973. Wadah ini menjadi wadah bagi para ulama untuk berdiskusi tentang masalah ummat dan menerbitkan fatwa terkait hukum dan amalan Islam, termasuk fatwa terkait halal makanan / minuman atau akhir Ramadhan.
Para ulama kemudian berkumpul pada Sidang Majelis Nasional Majelis Ulama pertama di Jakarta dan menghasilkan piagam. Piagam yang dikenal dengan Piagam Pendirian MU tersebut mengatur bahwa Majelis Ulama (MUI) Indonesia didirikan 45 tahun lalu oleh Rajah Hijriah 1395 atau pada 26 Juli 1975. Sebagaimana tertuang dalam Piagam, Ulama memiliki pentingnya penyatuan ulama di Indonesia guna mewujudkan Ikhwanul Islam dalam rangka “memajukan persatuan dan kesatuan bangsa di Indonesia”.
Dalam situs resminya, masyarakat melihat 26 Uramas yang mewakili 26 provinsi (Timor Timur saat itu bukan Indonesia) berpartisipasi dalam MUI, 10 dari NU, Muhammadiya, Syarikat Islam, dan Perti Urama Tengah berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah; empat Uramas dari Kementerian Spiritual Islam, keempat di ABRI; 13 ulama. Di antara individu tersebut adalah Kasman Singodimedjo dan Hamka. MUI mengklaim sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dapat menampung ulama, zu’ama, dan ulama Indonesia untuk membimbing, melatih, dan melindungi umat Islam di seluruh Indonesia.
Menurut Rush, pada Juni 1975 Menteri Agama Mukti Ali menghubungi Hamka dengan harapan bisa menjadi ketua MUI. Mukti Ali tahu bahwa Hamka adalah sastrawan dan ulama se-Indonesia. Ia seorang Muslim dan menghindari fanatisme.Di kalangan Muslim, hanya Hamka yang secara rutin diundang menjadi pembicara di acara Nahdatul Ulama. Hamka diharapkan mampu menjembatani lebih banyak kelompok. Seperti yang diungkapkan oleh Rush, Hasan Basri, yang kemudian menjadi wakil ketua MUI, menyebut Hamka “satu-satunya pilihan yang bisa dibayangkan”. Hamka (Hamka), pada tahun 1970, Hanka (Hamka) menentang pembentukan majelis serupa MUI. Seperti yang dikatakan Rush, kali ini, “Hamka memiliki pandangan yang berbeda”. Dalam sejarah MUI, Hamka adalah ketua MUI yang pertama.
Misalnya M.C. Ricklefs dalam “Islamizing Java” (2013: 277) bertujuan untuk menjadi alat bagi pemerintah untuk mengontrol Islam untuk kepentingannya sendiri. Ini menjadi stigma bagi MUI. Rikovs menunjukkan bahwa Hanka mengundurkan diri sebagai ketua MUI pada tahun 1981, “untuk memprotes kurangnya kemerdekaan MUI di hadapan pemerintah.”
Meski dalam pandangan Hamka, MUI tidak independen, Soeharto punya gagasan lain. Soeharto mengatakan, MUI harus mandiri-tentunya dalam koridor orde baru. Pada tahun 1989, Soeharto mengutip Kompas dalam “Sebelas Buku” tahun 1989 (2008: 587-589) oleh HM Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia (21 Desember 1989) Artinya, MUI menjadi semakin mandiri. Kerja sama ini telah menciptakan suasana baru bagi Islam dan pertumbuhan umatnya di Indonesia. Kerja sama ini tidak hanya perlu dijaga, tetapi juga perlu dipupuk dan dikembangkan di masa mendatang, kata Suharto.
Pasca runtuhnya orde baru pada tahun 1998, keadaan berubah. Setelah Ricklefs menyebut jatuhnya Soeharto, “MUI telah menjadi wadah untuk memperjuangkan kepentingan Islam, terutama forum Islam untuk kelompok paling konservatif, Islamis dan Dakwah. Pemerintah.” Kali ini MUI bisa independen seperti yang diimpikan Hamka. Seperti yang diungkapkan Fawaizul Umam dalam “Kara’s Religion Is No Longer Freedom” (2014: 156), jika tidak ada tatanan baru, “di era reformasi, ketika negara sedang melemah, MUI seolah memainkan setiap peran hukum teologi dalam Dalam kebijakan negara ini, MUI -terutama dalam konteks praktik kebebasan beragama- terutama berperan sebagai lembaga pengawas, melakukan beberapa bentuk penyaringan keyakinan untuk mengekang perilaku sosial Islam dengan menetapkan keyakinan mainstream sebagai tolok ukur utama. ”
Saat ini, MUI dinilai memiliki legitimasi yang cukup untuk menentukan bahaya kehalalan produk. Sejak 6 Januari 1989, MUI membentuk Komite Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang bertanggung jawab untuk penelitian tentang pangan, obat dan kosmetika. Badan tersebut menguji produk tersebut dan mendapatkan sertifikat halal jika lolos. Dalam politik Indonesia terkini, memeluk MUI berarti memeluk Islam. Tak heran jika Ketua MUI Ma’ruf Amin kemudian memilih Joko Widodo (Joko Widodo) sebagai cawapres di Pilpres 2019. Mauru Amin menang dan juga tercatat. Sebagai ketua MUI pertama yang menjadi wakil presiden.
- Agama Kristen: Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
Dari tanggal 6 sampai 13 November 1949, diadakan acara sebagai berikut: “Pertemuan persiapan Majelis Gereja Indonesia.” Sebagaimana diketahui sebelum Perang Dunia II, upaya telah dilakukan untuk membentuk dewan untuk mengawasi pekerjaan Zending. Namun, karena pernyataan pribadi pgce saat pecahnya Perang Dunia II, niat ini ditunda. Setelah Perang Dunia II, dibentuklah tiga komite daerah, yaitu: “Panitia Permusyawaratan Gereja Indonesia, berkedudukan di Yogyakarta (Mei 1946);“ Dewan Bisnis Gereja Indonesia Timur ”(1947), bertempat di Makassar 9 Maret) dan“ Gereja Sumatera Council “di Medan (awal 1949).
Tujuan pembentukan ketiga komite daerah ini adalah untuk membentuk dewan gereja yang mencakup tiga komite di Indonesia. Pada tanggal 21 – 28 Mei 1950 diadakan pertemuan di Seminari Teologi Tinggi (sekarang Seminari Teologi Jakarta) tentang pembentukan Majelis Gereja Indonesia (DGI). Yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah:
- Hong Kong BP
- GBKP
- Gereja Metodis Sumatera
- bank
- Gereja Gospel Kalimantan
- GPIB
- Gereformeerde Kerken di Indonesia
- GKP
- Muria di sekitar gereja Kristen
- Gereja Kristen Jawa Tengah
- Gereja Kristen Davivitan
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee / Khoe hwee Jawa Barat
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee / cangkul kepala Jawa Tengah
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee / Khoe hwee, Jawa Timur
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee / cangkul Api Jakarta
- Gereja Kristen di Bali
- Gereja Kristen Sumba
- Gereja Kristen Injili Timur
- Gereja Kristen Injil Sangihe & Talaud
- Gereja Injil Air
- Gereja Injili Bolanvanda
- GKST
- GKTR
- GKTM
- GKST
- GKSS Makassar
- Menteri Kesehatan
- Gereja Protestan Maluku
- Gereja Kristen Injil Irian
- Gereja Kristen di Indonesia
Salah satu agenda rapat tersebut adalah membahas tentang “Anggaran Dasar Perusahaan DGI”. Pada tanggal 25 Mei 1950 piagam DGI disetujui oleh peserta konferensi, dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal pembentukan Majelis Gereja Indonesia (Ditjen) dalam “Deklarasi Infiltrasi Ditjen”:
“Kami para anggota sidang pengukuhan Majelis Gereja Indonesia mengumumkan bahwa Majelis Gereja Indonesia kini telah dibentuk sebagai wadah perundingan dan urusan bersama gereja-gereja Indonesia, Federasi Gereja Kristen. Di Indonesia, pada rapat tanggal 25 Mei 1950 ditetapkan soedah edubirdie plagiarisme. Geredja didirikan di Indonesia untuk melawan otorisasi dari Jesoes Kristoes, Toehan dan kepala gereja, dengan nama oematNja, oentoek chemoeliaan (dalam doa ini disebut Toehan)”.
Oleh karena itu, Ditjen Dikti menjadi wadah pertemuan gereja di Indonesia. Anggotanya bertambah dari waktu ke waktu. Dengan bertambahnya jumlah anggota akan menunjukkan semangat solidaritas untuk mempersatukan gerakan universal di Indonesia. Dalam platform PGI, gereja-gereja Indonesia dengan berbagai latar belakang teologis, aliran, ras, ras, tradisi budaya, dan tradisi gereja tidak lagi dianggap sebagai pemisah perbedaan, tetapi sebagai aset berharga yang memperkaya kehidupan gereja, tubuh Kristus.
Sesuai dengan semangat pembangunan dan persatuan, hal ini pula yang menjadi dasar bagi “Majelis Gereja Indonesia” diganti namanya menjadi “Persatuan Gereja Indonesia” sesuai keputusan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa X di Ambon. Pada tahun 1984. Perubahan nama didasarkan pada: “Persekutuan pada dasarnya lebih bersifat gerejawi daripada kata-kata dewan, karena konsili lebih terkesan oleh persatuan dan keragaman gereja anggota, dan persekutuan menunjukkan lebih banyak hubungan material dan spiritual Perbudakan gereja dalam proses persatuan “.
Oleh karena itu, perubahan nama berarti perubahan makna. Persekutuan adalah istilah alkitabiah yang melibatkan keberadaan, aspek internal dan spiritual dari kesatuan Kristen. Menurut pengakuan PGI, Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia, kepala gereja, dan sumber kebenaran dan kehidupan. Sejak berdirinya PGI, gereja telah berkumpul dan berkembang sesuai dengan Firman Tuhan. Mengumumkan pendirian gereja di Indonesia. Persatuan diwujudkan dalam bersaksi dan melayani, persekutuan, gotong royong dan gotong royong.
Oleh karena itu, PGI tidak bermaksud untuk mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, dan PGI tidak bermaksud menjadi gereja super yang memimpin gereja-gereja anggotanya, tetapi penyatuan ini mengacu pada penyatuan tindakan, artinya kegiatan bersama dilakukan dengan kebersamaan. visi dan Misi.
Hingga 2009, PGI telah mengumpulkan 88 gereja anggota dan lebih dari 15 juta jemaat di Merauke-Sabang dan Rote-Talaud. Anggota PGI mencakup 80% orang Kristen Indonesia. Anggota PGI ditandai dengan “oikoumene” dan optimis dapat bekerja dan melayani di Indonesia dan di seluruh dunia. Selain mempererat silaturahmi antar gereja anggotanya, pihaknya juga mengimbau PGI untuk bekerjasama dan menjalin kemitraan dengan gereja lain dan lembaga ekumenis, serta agama nasional dan internasional di semua tingkatan. Kemitraan ini bertujuan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama dan kesejahteraan umat manusia di Indonesia dan seluruh dunia.
Baca Juga: Mengenal Hindu-Buddha lewat Perjalanan Panjang nya di Indonesia
- Katolik: Konferensi Pembina Gereja Indonesia (KWI)
Majelis Keagamaan KWI berdiri pada tahun 1924 dan pada waktu yang bersamaan dibentuk Majelis Agung Para Uskup Indonesia (MAWI) yang disebut dengan Fakultas Teknologi PWI. Pada awalnya, MAWI menugaskan PWI Kateketik untuk memperhatikan dan mempromosikan pembelajaran rahasia di Indonesia baik di dalam maupun di luar sekolah. Oleh karena itu, tahun ini telah disepakati untuk menetapkan jadwal pengajaran untuk “Kleine Katechismus” dan “Grote Katechismus” yang berlaku untuk Sekolah Katolik Anak Eropa. Untuk bahasa daerah doktrinal, editorial diserahkan pada setiap wilayah. Pada tahun 1925, Uskup membentuk semacam doktrinalisme dalam bahasa Melayu yang digunakan di mana-mana, dan ada juga beberapa doktrinalisme regional. Bagi umat Katolik Tionghoa yang tidak mengerti bahasa Belanda atau Melayu, Hong Kong telah menerbitkan ajaran Tionghoa. Namun, pada tahun 1934 MAWI menegaskan bahwa hanya satu jenis doktrinalisme yang digunakan dalam ajaran agama Katolik, yaitu penggunaan bahasa Melayu yang harus disatukan. Ditegaskan pula bahwa anak-anak non-Katolik yang belajar di sekolah Katolik juga harus menerima syahadat dengan persetujuan orang tua mereka.
Pada tahun 1955, uskup meminta komite pendidikan dan pengajaran agama untuk menerbitkan buku katekese sebanyak mungkin dalam keadaan regional. Di semua seminari, kursus harus ditawarkan. Komite Pendidikan dan Pengajaran Agama diwajibkan untuk mengatur kursus bagi para guru. Lebih banyak artikel tentang katekese akan diterbitkan di majalah Majalah Spiritual dan Persatuan Guru Katolik (PGK) Di sekolah Katolik dengan siswa non-Katolik, setidaknya satu kursus karakter ditawarkan. Uskup berharap lebih banyak saudara dan saudari akan berpartisipasi dalam khotbah.
Pada tahun 1960, Konferensi Para Uskup yang diadakan di Indonesia mengakui SJ Catechesis Institute sebagai pusat untuk menyelidiki dan melaksanakan masalah dan kepentingan kategori MAWI. Sesuai dengan rencana yang disampaikan kepada para uskup di Jawa, majelis uskup di Indonesia menugaskan balai keagamaan untuk membentuk gereja Indonesia baru, dan menyusun buku teks dekomposisi berdasarkan gereja baru. Konferensi Waligereja se-Indonesia telah menugaskan Catholic Center untuk merumuskan rencana pendistribusian buku teks bagi agama lain yang dianggap menjadi tuntutan utama.
Pada tahun 1970, MAWI menyatakan pendiriannya tentang keberadaan kurikulum agama di sekolah: • Tidak jelas kewajiban memasukkan kurikulum agama ke dalam kurikulum sekolah. Juga tidak jelas apakah pemerintah dapat mewajibkan pendidikan agama di sekolah (sebagai upaya membangun keyakinan). Pelajaran agama Katolik adalah kewenangan uskup setempat. Misi gereja adalah membantu orang tua dalam mendidik anak-anak mereka dalam iman. Namun, pada tahun 1972, MAWI menyetujui kursus SD, SLTP, SLTA, dan Katolik nasional yang ditawarkan oleh universitas. Jemaat sepakat Katie Pwisch (PWI) yang melakukannya.
Pada tahun 1976, MAWI menyetujui teks “Menemukan Arah Katolik dalam Gereja yang Berkembang di Indonesia” dalam pertemuan Katolik antar keuskupan. Pada tahun 1977 diadakan konferensi agama pertama (PKKI I) antar keuskupan di Indonesia, dan konferensi diadakan pada 10 detik waktu standar AS. Pada tanggal 16 Juli 1977 di Sindanglaya, Jawa Barat. Pada konferensi akademik ini, arah misi Indonesia adalah misi umat, yaitu sebagai keyakinan umat, misi umat dan umat, serta misi gereja yang ditentukan sesuai dengan kondisi setempat yang spesifik. Untuk teladan Yesus Kristus. PKKI II diselenggarakan di Wisma Samadi Klender-Jakarta pada bulan Juni 1980. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari PKKI I. PKKI I menemukan arah klasifikasi di Indonesia yaitu klasifikasi rakyat. Dalam pertemuan ini, para peserta mencoba mendefinisikan klasifikasi umat secara lebih mendalam dan detail, yaitu tentang maknanya, isi klasifikasi umat, tujuan, peserta dan promotor.
Kemudian pada tahun 1984 diadakan PKKI III di Pacet-Mojokerto-Jawa Timur. Topik pembahasan utama konferensi ini adalah untuk menampung dan bertukar berbagai pemikiran dan upaya praktis untuk mendorong perkembangan ideologi penuntun hampir semua keuskupan dan lembaga klerikal / pastor di Indonesia, dan untuk lebih berkembang di tempat masing-masing untuk mengimplementasikan doktrin Islam. Orang-orang merata ke kerumunan dasar. Juga pada tahun 1984, setelah melakukan pembenahan berdasarkan rekomendasi konferensi MAWI tahun 1984, MAWI mempercayakan kepada Panitia Katolik untuk menyerahkan kepada pemerintah kurikulum mata pelajaran SD, SMTP dan Katolik di sekolah menengah umum, khususnya pada topik dan agama Kristen.
PKKI IV diselenggarakan di Denpasar-Bali pada bulan Oktober 1988 dengan tema: Menumbuhkan Keimanan dan Partisipasi dalam Masyarakat. Tema ini membawa wawasan baru dan tantangan perubahan strategis teknisi bedah. Telah disadari bahwa Kate Chesi yang berpusat pada gereja tampaknya tidak ada hubungannya dengan kabar baik tentang keselamatan. Saatnya kita melihat melampaui pagar internal gereja, apa yang terjadi di masyarakat dan bagaimana gereja telah menjadi garam dunia. Mungkin masa depan pertobatan tidak lagi berpusat pada gereja, tetapi pada kerajaan Allah.
PKKI V diselenggarakan di Caringin, Bogor pada tahun 1992, dengan tema: Believe in Community Life: Challenges. PKKI V dipandang sebagai penghubung dan proses panjang untuk mewujudkan gereja misionaris di Indonesia benar-benar berfungsi. Keberadaan gereja-gereja lokal dan komposisi misi menjadi semakin kompleks. Akan tetapi asas taksonomi tetap berlaku, yaitu dalam situasi sosial tertentu, ketika menghadapi wahyu ketuhanan, kepercayaan masyarakat didasarkan pada satu arah.
Pada tahun 1994, Komite Katolik menerbitkan buku pendidikan agama Katolik di SD, SMP dan SMA berdasarkan desain kurikulum 1994. Kurikulum tersebut menekankan pentingnya ajaran Katolik untuk menyeimbangkan kurikulum sebelumnya yang mengandung banyak kualitas. Pada tahun 1996, KWI menerbitkan sebuah buku: “Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi”, yang sangat berguna bagi umat Katolik di Indonesia.
PKKI VI diselenggarakan di Wisma Samadhi, Klender-Jakarta pada tahun 1996, dengan tema: Kerajaan Manusia dan Dewa. PKKI VI berbicara tentang “memajukan pendidikan di Indonesia”. Banyak hal pokok yang dibahas dalam pertemuan itu. Mengenai doktrin umat, PKKI VI menekankan pada tiga tema utama: doktrin pendirian gereja melalui kedudukan kerajaan Tuhan, kitab suci dalam Ku-ANSOS, serta spiritualitas dan ketrampilan Katolik KU-ANSOS.
PKKI VII diadakan di Savilan, Jawa Timur dari tanggal 24 sampai 30 Juni 2000. Tema utama PKKIVII adalah “Uma dan Gereja di Tingkat Akar”. PKKI VII dapat dilihat sebagai pendukung “Konferensi Gereja Katolik Indonesia pada November 2005 yang bertemakan“ Pemberdayaan Umat Kristiani Dasar Menuju Indonesia Baru. ”Bagus sekali, diselenggarakan PKKI VII dan Gereja Katolik Indonesia. Pertemuan untuk merayakan tahun Yelbelium 2000, ketika gereja Indonesia sedang mereformasi dirinya untuk memasuki milenium baru.
Pada tahun 2004, Komite Katolik menyusun dan menerbitkan “Pendidikan Agama Katolik” untuk SD, SMP dan SMA berdasarkan kurikulum 2004 berdasarkan kurikulum berbasis kemampuan.
PKKI VIII diselenggarakan di Museum Wismar Malang pada tanggal 22-28 Februari 2004. Tema tema konferensi ini mengajak peserta untuk mendalami bagaimana Katedral Uma dapat membangun KBG yang lebih sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Agar masyarakat kita bisa hidup lebih adil, damai dan sejahtera. Kemudian, dari tanggal 9 sampai 12 Mei 2005, diadakan Konferensi Nasional Umat Katolik di Wisma Samadi Kleinde Jakarta. Tema konferensi ini adalah: Identitas Katolik di era yang berubah dengan cepat.
Kemudian, Komite Katolik memprakarsai terbitnya Kurikulum Pendidikan Agama Katolik Perguruan Tinggi pada tahun 2007 dan merevisinya pada tahun 2011. Pada tahun 2008, Sulawesi Utara mengadakan konferensi PKKI IX di Sekolah Lokonto Mohon dengan tema: Masyarakat Tertekan. ”Orang-orang Indonesia berada di bawah tekanan dalam banyak aspek kehidupan. Inilah alasan mengapa Gereja Katolik bertobat. Pertobatan memberi orang peneguhan, inspirasi dan keberanian untuk mengatasi tekanan ini.Dengan mengeksplorasi tiga bidang kehidupan, yaitu humaniora, politik dan hukum, tema besar ini dibahas secara khusus.
Pernas Catechis II diselenggarakan di Wisma Sawangan Bogor pada tanggal 24-28 November 2010 dengan tema Pendidikan Vokasi sebagai Profesi. Kemudian pada tahun 2011, Panitia Swadaya Daerah menerbitkan buku berjudul “Pelaksanaan Juknis Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Terpadu”.
PKKI X diselenggarakan dari tanggal 10-16 September 2012 di Bandung Barat Sisarovar Wismar Shalom dengan tema: “Katolik di Era Digital: Peran Pendeta dan Umat Katolik Gereja Katolik Indonesia di Era Digital”. Tema ini dipicu pada rapat pengurus Komkat KWI yang diadakan pada 5-7 Mei 2011 karena gereja Indonesia saat ini sedang menghadapi era baru, era digital. Keadaan ini akan mempengaruhi mentalitas umat, gaya hidup dan pola hubungan interpersonal, yang tentunya juga melibatkan karya Katolik. Tujuan pengusulan tema ini adalah agar para pendeta dan pemeluk agama sadar akan perkembangan fasilitas komunikasi digital dan dampaknya terhadap budaya kehidupan sehari-hari masyarakat. Diharapkan kesadaran ini akan mengarah pada generasi ide, pemikiran dan klasifikasi rencana untuk memenuhi kebutuhan gereja Indonesia di era digital saat ini.
Sejak 2013 hingga 2014, Komite Katolik KWI bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Pembukuan menyusun Buku Ajar Pendidikan Agama dan Karakter Katolik SD, SMP, dan SMA berdasarkan kurikulum 2013. Kurikulum tersebut akan dilaksanakan pada tahun ajaran yang sama mulai tahun 2014 hingga 2015. Pemerintah mencetak dan mendistribusikan buku secara gratis. Mata kuliah 2013 menekankan pada pengembangan sikap dan karakter dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun siswa beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kehidupan sosial yang baik, serta memiliki keterampilan dan ilmu. Oleh karena itu, semua mata pelajaran harus mendukung pendidikan karakter yang erat kaitannya dengan kompetensi inti. Pendidikan agama diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pengembangan sikap dan karakter. Pada tahun 2017, Panitia Katolik KWI bekerja sama dengan penerbit Kanisius Yogyakarta menyusun buku Pendidikan Agama Katolik dan Pendidikan Karakter berdasarkan Kurikulum 2013 sebagai buku pengganti untuk menunjang sumber belajar guru dan siswa sekolah. Pada dasarnya struktur buku ini lebih praktis terutama bagi guru yang menyusun RPP di kelas.
Pada tahun 2015 telah diselenggarakan Konferensi Nasional Umat Katolik ke-3 dengan tema “Umat Katolik Sebagai Saksi Iman dan Moralitas di Antara Keluarga dan Masyarakat Multikultural”. Pernas akan diselenggarakan pada tanggal 22 s.d. 25 September 2015, bertempat di Muntilan Puspas Sanjaya, Keuskupan Agung Semarang (Mustilan). Tujuan dari undang-undang nasional ini adalah untuk meningkatkan motivasi saling mendukung, spiritualitas doktrinalis di tingkat nasional. Peran mukmin ini juga merupakan apresiasi terhadap Gereja Katolik Indonesia (hierarki) umat beriman. Ketua Manajer KWI Komkat John Liku Ada (John Liku Ada) berharap pertemuan seperti ini akan terus berlanjut, karena misionaris adalah pelopor iman dan pendidikan moral di lapangan atau di tingkat akar rumput.
Pada tahun 2019, diadakan acara bertema PERNAS IV KATEKIS: “Bahagia dan Perbarui Semangat Misionaris Katolik, dan Sambut Ilusi Terbesar Dalam 100 Tahun.” Konferensi Nasional Misionaris Katolik ke-4 digelar di sini. Pada 26-29 / 08/2019, 80 misionaris hidup dari 37 keuskupan dan 6 anggota panitia keagamaan dari masing-masing daerah mengikuti Muktamar Nasional ke-4 di Sun Island Hotel Kuta Bali. Bersama dengan Sekretaris Eksekutif KWI Komkat Rm, memberikan penghormatan kepada Ibu Paulinus Yan Olla, Ketua Komite Ketua KWI. Festo, Pr dan konsultan lainnya. Liturgi Katolik Pernas IV pertama kali dimulai dengan upacara pembukaan yang dibawakan oleh Bapak Silvester San (uskup Denpasar). Dalam semangat persaudaraan, umat beriman berbagi suka dan duka pengalaman misionaris di paroki masing-masing, yang dikonfirmasi oleh pembicara.